Gebrakan Baru Penilaian Kinerja ASN

Mengagetkan! Sangat mungkin sebagian besar pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) terkejut setelah membaca Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 3 Tahun 2023 yang terbit 31 Januari lalu. Surat ini memang membawa nuansa baru. Kita patut mengacungkan jempol atas gebrakan Menpan RB Abdullah Azwar Anas yang berani mengeluarkan kebijakan yang ditunggu-tunggu sejak terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil ini yang mengamanatkan adanya distribusi predikat kinerja PNS.

Mengapa terkejut? Sebab beleid ini mengatur kuota predikat nilai yang diterima pegawai berdasarkan persentase. Mulai sekarang tidak semua pegawai akan menerima nilai berpredikat BAIK apabila nilai kinerja organisasi tempatnya bernaung tidak baik-baik saja. Ketika kinerja organisasi mendapat nilai BAIK pun, paling banyak hanya 70% pegawai yang berhak menyandang nilai kinerja berpredikat BAIK.

Selebihnya memang dimungkinkan mendapat nilai SANGAT BAIK, namun pahitnya di klausul tersebut diwajibkan adanya ASN yang memperoleh nilai di bawah predikat BAIK, seperti BUTUH PERBAIKAN, KURANG, dan bahkan SANGAT KURANG. Organisasi yang kinerjanya bernilai BUTUH PERBAIKAN/CUKUP, minimal 60% pegawai diberikan nilai berpredikat BUTUH PERBAIKAN, sementara proporsi ASN yang dapat diberikan nilai SANGAT BAIK tak lebih dari 10 persen. Pegawai yang lain diberikan nilai BAIK, KURANG, dan bahkan SANGAT KURANG.

Konsekuensi memperoleh nilai di bawah predikat BAIK ini tentu sangat panjang. Akan ada banyak pegawai yang mengalami penundaan kenaikan jabatan, kenaikan pangkat, Kenaikan Gaji Berkala (KGB), dan bahkan penurunan penerimaan tunjangan kinerja. Pasalnya, semua penghargaan serta hak kepegawaian di atas mempersyaratkan nilai kinerja berpredikat minimal BAIK dan CUKUP untuk KGB.

Dengan satu kali mendapat nilai di bawah BAIK, maka kenaikan jabatan seorang pegawai dapat tertunda selama setahun sedangkan kenaikan pangkatnya dapat tertunda selama dua tahun karena persyaratan untuk diberikan kenakan pangkat adalah dua tahun berturut-turut mendapatkan nilai minimal BAIK. Di luar perkara kedinasan, penurunan tunjangan kinerja dapat membawa permasalahan yang lebih runyam karena gaji dan tunjangan pegawai biasanya telah diagunkan ke perbankan.

Lebih Objektif

Selama ini penilaian kinerja individu pegawai masih belum dikaitkan dengan kinerja organisasi. Dampaknya hampir semua pegawai bernilai BAIK meskipun kinerja organisasinya belum optimal. Hal ini menjadikan para abdi negara cenderung terninabobokkan oleh sistem sebab kenaikan jabatan, pangkat, kenaikan gaji berkala, dan tunjangan kinerja tetap berjalan lancar meskipun dengan kinerja ‘seadanya'.

Musababnya adalah belum adanya ukuran objektif yang membuat pimpinan dapat bersikap tegas dalam menilai kinerja individu bawahan. Meskipun kinerja yang bersangkutan sering dikeluhkan oleh rekan kerja dan bahkan oleh dirinya sendiri, namun pimpinan enggan memberikan nilai di bawah BAIK. Pasalnya, nilai CUKUP yang ia berikan akan mengakibatkan bawahan tidak bisa naik pangkat dan jabatan. Hal ini menjadi beban tersendiri.

Munculnya PP Nomor 30 Tahun 2019 yang dijabarkan dengan Peraturan Menpan RB Nomor 6 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Kinerja Pegawai Aparatur Sipil Negara yang kemudian diperjelas dengan Surat Edaran Menpan RB Nomor 3 Tahun 2023 ini menghadirkan formulasi yang menggabungkan penilaian kinerja individu dan kinerja organisasi. Kinerja individu dinilai dengan ekspektasi pimpinan terhadap hasil kerja pegawai yang telah ditargetkan, sementara nilai kinerja organisasi berdasarkan atas realisasi perjanjian kinerja pimpinan organisasi dengan pimpinan yang lebih tinggi.

Realisasi perjanjian kinerja organisasi ini lebih objektif dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Pasalnya, target dan besaran anggaran dalam perjanjian kinerja sudah terukur dan definitif. Hasilnya berupa laporan yang angka keberhasilannya sudah terang.

Angka capaian kinerja organisasi itu adalah hasil nyata dari kinerja semua pegawai dalam organisasi tersebut sehingga memang sudah semestinya dijadikan dasar penilaian ASN. Kemudian nilai tersebut diformulasikan dengan kinerja individu pegawai sehingga terbitlah predikat nilai kinerja dari pegawai yang bersangkutan.

Kinerja individu pegawai dinilai dengan proporsi 70% atas pencapaian target yang dibebankan serta 30% berasal dari perilaku kerjanya yang meliputi aspek orientasi pelayanan, akuntabilitas, kompetensi, harmonis, loyal, dan adaptifnya. Meskipun dalam edaran tersebut dinyatakan bahwa kebijakan ini masih dalam masa transisi untuk menunggu ketentuan penilaian kinerja organisasi yang lebih mapan, namun penerapan kebijakan sementara ini diyakini akan sangat signifikan dampaknya bagi perkembangan penilaian kinerja ASN.

Adanya faktor kinerja organisasi ini akan mengarahkan subjektivitas menjadi objektivitas dalam memberikan ekspektasi penilaian kepada bawahan. Di samping itu juga mengikis parasit penilaian central tendency yang selama ini banyak menghinggapi pimpinan yaitu model penilaian yang cenderung mengambil nilai rata-rata untuk semua pegawai. Pimpinan enggan memberikan nilai ekstrem baik kepada pegawai yang berkinerja istimewa, namun juga tidak merasa nyaman untuk memberikan nilai kurang kepada pegawai yang berkinerja buruk.

Titik Kritis

Hal yang perlu ditindaklanjuti dari peraturan ini adalah kejernihan jauh terkait rumusan kuota distribusi predikat kinerja pegawai yang berdasarkan persentase sebagai penentu jumlah pegawai yang bernilai tertentu. Pasalnya, bisa jadi ketidakberhasilan suatu target yang termuat dalam perjanjian kinerja organisasi hanya disebabkan oleh beberapa orang yang berada pada titik kritis atau utama dari program tersebut. Bukan 30% atau 60% pegawai.

Misalnya, suatu Kantor Kementerian Agama kabupaten tertentu ditargetkan untuk menginternalisasikan pemahaman moderasi beragama kepada masyarakatnya dalam perjanjian kinerjanya. Indikatornya adalah terbentuknya 1000 kader penyuluh moderasi beragama yang kompeten. Namun, hasil yang diperoleh hanya 900 kader moderasi beragama yang kompeten. Titik kritis utama dalam program ini adalah kejelian pemilihan calon kader oleh pegawai yang ditugaskan.

Pegawai tersebut harus dapat mencari calon kader yang memiliki leadership, inovasi, kecerdasan sosial dan spiritual serta komunikatif. Kegagalan pencapaian target bukan berasal dari pegawai di bidang anggaran pelaksanaan kegiatan, pegawai yang mengurusi undangan dan konsumsi, dan seterusnya. Sehingga kurang tepat juga apabila pegawai tersebut mendapatkan nilai KURANG. Demi melihat hal itu maka penulis menyarankan adanya pertimbangan identifikasi titik kritis atau utama di setiap kegiatan sebagai bahan penilaian atas kinerja organisasi untuk melenturkan persentase distribusi predikat kinerja.

Isman, Analis Kepegawaian Pertama Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bantul